www.gelora.co - Wakil Sekjen Partai Gerindra Andre Rosiade meyakini ada motif tersembunyi di balik keinginan Presiden Joko Widodo menggandeng Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 mendatang.
Andre menilai, hal ini tak terlepas dari elektabilitas Jokowi sebagai petahana yang masih stagnan di bawah 40 persen dalam berbagai survei.
Ini menunjukkan bahwa 60 persen rakyat ingin mengganti Presiden.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Susilo Bambang Yudhoyono di 2009.
Setahun sebelum pilpres, elektabilitas SBY sudah stabil di atas 60 persen.
"Makanya, kubu Pak Jokowi mengajak Pak Prabowo untuk menjadi cawapresnya karena kalau rematch pak Jokowi akan kalah," kata Andre kepada Kompas.com, Sabtu (14/4/2018).
Andre menegaskan bahwa Prabowo tidak tergoda dengan tawaran Jokowitersebut.
Menurut dia, tawaran itu langsung ditolak dan Prabowo pada akhirnya tetap memutuskan tetap maju sebagai capres.
Pada rapat koordinasi Partai Gerindra 11 April lalu, Prabowo menyatakan dirinya siap menerima mandat dari kader Gerindra untuk maju di pilpres 2019 mendatang.
"Pak Prabowo sudah memberikan keputusan tidak menerima itu, ya sudah dan Pak Prabowo menyampaikan mari kita berjumpa di Pilpres 2019," kata Andre.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy mengatakan, alasan utama Presiden Joko Widodo ingin menggandeng Prabowo sebagai cawapres adalah untuk menjaga persatuan.
Ia mengungkapkan, saat menawari Prabowo sebagai cawapres, Jokowiberkaca pada Pilkada DKI Jakarta yang dipenuhi ketegangan dan berpotensi memicu konflik.
"Beliau menyampaikan, bayangkan gaduhnya republik ini. DKI Jakarta saja yang satu provinsi luar biasa gaung perbedaannya. Kemudian intoleransi meningkat dengan simpul-simpul agama," kata Romajurmuziy alias Romi, di sela Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama PPP di Hotel Patra, Semarang, Jumat (13/4/2018).
Ia memaklumi kekhawatiran Jokowi. Menurut dia, dengan pelaksanaan Pemilu 2019 yang digelar serentak dan yang diikuti sekitar 320.000 calon anggota legislatif (caleg), potensi perpecahan bisa terjadi jika Jokowi dan Prabowo kembali berhadapan.
Alasannya, masing-masing caleg akan mengampanyekan Jokowi dan Prabowo sekaligus karena waktu pencoblosan pileg dan pilpres berbarengan.
[tn]