www.gelora.co - Laju nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hari ini menembus level tertinggi yaitu Rp 13.912. Padahal pagi tadi, rupiah masih berada di level Rp 13.780. Posisi sekarang, rupiah perlahan bergerak menguat dan berada di level Rp 13.875.
Head of Economics and Market Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, sudah memperkirakan laju rupiah akan cenderung bergerak melemah dalam beberapa hari terakhir. Penyebabnya lebih karena faktor eksternal seperti ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang diprediksi hingga tiga kali.
"Karena volatilitas tinggi, karena kita melihat dolarnya menguat dan rupiah melemah. Jadi habis ini (tetap bergerak) di Rp 13.900," kata dia saat ditemui di Lombok, NTB, Sabtu (21/4).
Dengan kondisi seperti ini, menurutnya Bank Indonesia harus bisa menstabilkan kembali nilai tukar rupiah. Enrico mengungkapkan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate.
Perlu diketahui, saat ini BI masih mempertahankan suku bunga acuan di level 4,25%. Bagi Enrico, kenaikan suku bunga acuan bisa menjadi stabilitator bagi ekonomi Indonesia, khususnya moneter untuk mengantisipasi tekanan dari faktor eksternal.
Ilustrasi menghitung mata uang Rupiah.
"Kita harus lihat regional arahnya ke mana? Kalau memang secara relatif melemah (nilai tukar), kalau ditahan (suku bunga acuan) kita mau apa? Justru itu kita adjust bareng, untuk menaikkan suku bunga juga," ujarnya.
Sebenarnya, ada satu cara lagi yang bisa dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yaitu dengan menggunakan cadangan devisa. Hanya saja, cara ini cukup berisiko menguras cadangan devisa Indonesia. Pertimbangan lainnya adalah neraca perdagangan Indonesia yang selalu defisit.
Sebagai gambaran, posisi cadangan devisa Indonesia di akhir Maret 2018 tercatat USD 126 miliar, masih cukup tinggi meskipun lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2018 sebesar USD 128,06 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,9 bulan impor atau 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Bukan saya bilang BI harus intervensi terus menerus karena seperti Malaysia yang enggak intervensi tapi idenya betul sekali untuk lebih smooth lagi pergerakan mata uang atau pelemahannya. Kita lihat secara struktur kita masih ada sisi neraca transaksi berjalan," jelasnya.[kmp]